TRADISI Megengan memang sangat khas Jawa. Tradisi ini
biasanya dilaksanakan menjelang puasa. Jika saya menulis mengenai tradisi ini
sekarang, tentu dengan maksud bahwa Islam Jawa memang memiliki sekian banyak
tradisi yang khas dalam implementasi Islam. Tradisi ini sungguh-sungguh
merupakan tradisi indigenius atau khas, yang tidak dimiliki oleh Islam di
tempat lain. Tradisi ini ditandai dengan upacara selamatan ala kadarnya untuk
menandai akan masuknya bulan puasa yang diyakini sebagai bulan suci dan khusus.
Sama dengan tradisi-tradisi lain di dalam Islam Jawa, maka
tradisi ini juga tidak diketahui secara pasti siapa yang menciptakan dan
mengawali pelaksanaannya. Tetapi tentu ada dugaan kuat bahwa tradisi ini
diciptakan oleh walisanga khususnya Kanjeng Sunan Kalijaga. Memang hal ini baru
sebatas dugaan, namun mengingat bahwa kreasi-kreasi tentang Islam Jawa terutama
yang menyangkut tradisi-tradisi baru akulturatif yang bervariatif tersebut
kebanyakan datang dari pemikiran Kanjeng Sunan Kalijaga, maka kiranya dugaan
ini pun bisa dipertanggungjawabkan.
Megengan secara lughawi berarti menahan. Misalnya dalam
ungkapan megeng nafas, artinya menahan nafas, megeng hawa nafsu artinya menahan
hawa nafsu dan sebagainya. Di dalam konteks puasa, maka yang dimaksud adalah
menahan hawa nafsu selama bulan puasa. Secara simbolik, bahwa upacara megengan
berarti menjadi penanda bahwa manusia akan memasuki bulan puasa sehingga harus
menahan hawa nafsu, baik yang terkait dengan makan, minum, hubungan seksual dan
nafsu lainnya. Dengan demikian, megeng berarti suatu penanda bagi orang Islam
untuk melakukan persiapan secara khusus dalam menghadapi bulan yang sangat
disucikan di dalam Islam. Para walisanga memang mengajarkan Islam kepada
masyarakat dengan berbagai simbol-simbol. Dan untuk itu maka dibuatlah tradisi
untuk menandainya, yang kebanyakan adalah menggunakan medium slametan meskipun
namanya sangat bervariasi.
Nafas Islam memang sangat kentara di dalam tradisi ini. Dan
sebagaimana diketahui bahwa Islam memang sangat menganjurkan agar seseorang
bisa menahan hawa nafsu. Manusia harus menahan nafsu amarah, nafsu yang digerakkan
oleh rasa marah, egois, tinggi hati, merasa benar sendiri dan menang sendiri.
Nafsu amarah adalah nafsu keakuan atau egoisme yang paling sering meninabobokan
manusia. Setiap orang memiliki sikap egoistik sebagai bagian dari keinginan
untuk mempertahankan diri. Namun jika nafsu ini terus berkembang tanpa
dikendalikan, maka justru akan menyesatkan karena seseorang akan jatuh kepada
sikap ”sopo siro sopo ingsung” atau sikap yang menganggap dirinya paling hebat,
sedangkan yang lain tidak sama sekali. Nafsu amarah merupakan simbolisasi dari
sifat egoisme manusia dalam berhadapan dengan manusia atau ciptaan Tuhan lainnya.
Kemudian nafsu lawwamah atau nafsu biologis atau nafsu fisikal, yaitu nafsu
yang menggerakkan manusia untuk sebagaimana binatang yang hanya mementingkan
nafsu biologisnya saja atau pemenuhan kebutuhan fisiknya saja. Nafsu ini memang
penting sebab tanpa nafsu ini maka manusia tidak akan mungkin untuk
mengembangkan diri dan keluarganya. Manusia butuh makan, minum, berharta, dan
sebagainya. Namun jika hanya ini yang dikejar maka manusia akan jatuh ke dalam
pemenuhan kebutuhan fisiknya saja tanpa mengindahkan kebutuhan lainnya yang
juga penting. Maka yang menjadi penyeimbang di antara kebutuhan egoistik dan
biologis tersebut adalah nafsu mutmainnah, yaitu nafsu keberagamaan atau etis
yang mendasarkan semua tindakan berbasis agama. Nafsu mutmainnah inilah yang
akan mengantarkan manusia agar sampai kepada Tuhannya. Sebagaimana dinyatakan
di dalam Alquran: ”irji’i ila rabbiki radliyatan mardliyah, fadkhuli fi ’ibadi
fadkhuli jannati”, yang artinya kurang lebih adalah ”kembalilah kepada Tuhan
dengan ridla dan diridlai, masuklah ke dalam hambaku dan masuklah ke dalam
surgaku.” Ayat ini menegaskan bahwa yang bisa menjadi hamba Allah dan bisa
memasuki surganya adalah hambanya yang diridlai karena telah memasuki nafsu
mutmainnah. Dengan demikian, Islam mengajarkan bahwa melalui kemampuan untuk
menahan nafsu amarah dan lawwamah dan berikutnya mengembangkan nafsu
mutmainnah, maka manusia akan selamat di dalam kehidupannya.
Memang para walisanga mengajarkan Islam melalui
simbol-simbol budaya. Hanya sayangnya bahwa yang ditangkap oleh masyarakat
Islam hanyalah simbolnya belaka. Padahal jika yang ditangkap itu tidak hanya
simbolnya tetapi juga substansinya, maka sesungguhnya ada pesan moral yang
sangat mendasar. Misalnya tradisi megengan dan colokan tersebut. secara
substansial merupakan simbolisasi bahwa puasa adalah hari di mana seseorang
harus menahan nafsu dan terus dicolok agar jangan sampai keliru dalam melakukan
tindakan di bulan puasa.
Dengan demikian, berbagai macam tradisi yang berkembang dan
hidup di dalam masyarakat –khususnya—masyarakat Jawa jangan dipandang dari
sudut asli atau tidak ketidakaslian ajaran Islam, tetapi marilah dibaca bahwa
memang ada varian-varian di dalam mengekspresikan Islam itu melalui tradisi
yang dikonstruksi oleh mereka sendiri. Wallahu a’lam bi al shawab. (*)
foto: Prof. Dr Nur
Syam, mantan Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya
Baca Juga Artikel Menarik Lainnya :


Tidak ada komentar:
Posting Komentar