
Harga emas kembali tenggelam ke level terendahnya dalam 12 minggu terakhir. Ini mengikuti aksi lepas saham dan komoditas lainnya setelah dalam catatan The Fed (Minute) terbaru melemahkan harapan adanya stimulus moneter lanjutan.
Harga komoditas emas untuk kontrak bulan Juni anjlok 3,5% menjadi 1.614,1 dollar AS per troy ounce (Rp 467.102/gram) dalam perdagangan di bursa komoditas New York semalam atau Kamis (5/4) dinihari WIB. Ini merupakan level terendahnya sejak 9 Januari lalu.
Di pasar lokal, harga emas PT Aneka Tambang Tbk (Antam) pagi ini juga terus turun. Bila pada Rabu (4/4) kemarin anjlok Rp 5.000 ke level Rp 554.000/gram, hari ini turun kembali menjadi Rp 548.000/gram (turun Rp 6.000).
Jika dilihat sepekan lalu, harga emas telah turun Rp8.000 per gram atau 1,43 persen, dimana pada sepekan lalu harga emas lokal masih berada di kisaran Rp556 ribu per gram.Namun, dipasar elektronik Asia pagi ini, harga emas berhasil menguat tipis 0,6%ke 1.623,8 dollar per troy ounce (Rp 469.900/gram).
“Logam mulia mengalami tekanan jual yang dramatik ditengah berita bagus pulihnya ekonomi karena dalam catatan bank sentral AS kemarin memupuskan harapan adanya pelonggarana kwantitatif lanjutan (QE 3),” ujar George Gero, Wakil President dari RBC Wealth Management di New York.
Sekadar diketahui, Bank Sentral AS mengumumkan tidak akan memberikan stimulus moneter tambahan kecuali ekspansi ekonomi AS terganggu atau harga naik pada tingkat yang lebih lambat dari target 2 persen.
“Setelah jatuh cukup dalam menjelang libur panjang, target harga emas berikutnya di US$ 1.600 per troy ounce,” kata Charles Nedoss, ahli strategi pasar dari Olympus Futures di Chicago. Para investor mengantisipasi hari libur Jumat Agung.
Dipasar uang, Greenback, sebutan untuk dolar AS kembali digdaya terhadap mata uang utama dunia. Indeks dolar AS terhadap enam mata uang rival utamanya semalam naik 0,308 poin (0,39%) ke level 79,949.Dampak dari apresiasi dolar AS juga menjadi alasan mengapa harga emas kembali meredup mendekati 1.600 dollar per troy ounce, karena transaksi emas dalam mata uang dolar.ins
.Kondisi serupa sebenarnya juga terjadi di negara lain. Pertumbuhan ekspor di China turun dari 21,3% di Januari-Februari 2011 menjadi 6,9% di Januari-Februari 2012. Dalam kurun waktu yang sama, pertumbuhan ekspor Korea Selatan turun dari 30,5% menjadi 5,6%. Begitu juga dengan Jepang yang mengalami penurunan pertumbuhan ekspor dari 15,5% di Januarui Februari 2011 menjadi 0,03% realisasi pertumbuhan ekspor pada Januari-Februari 2012.Hal serupa juga terjadi pada Brasil yang mengalami penurunan pertumbuhan ekspor dari 35,9% di Januari-Februari 2011 menjadi 7,0% di Januari Februari 2012.
Target pertumbuhan ekonomi sebesar 6,1% itu diperoleh dengan asumsi pemerintah menaikkan harga bahan BBM pada kuartal III. Namun, pertumbuhan ekonomi pada 2013 akan mencapai 6,5% atau lebih tinggi satu percentage point dibandingkan jika pemerintah tidak menaikkan harga bahan bakar bersubsidi pada 2012. Pertumbuhan ekonomi dapat mencapai 7% atau bahkan lebih tinggi jika pemerintah mampu mengalihkan alokasi anggaran subsidi kepada kegiatan yang lebih produktif seperti infrastruktur atau pendidikan.
Menurut Bank Dunia, masa depan pertumbuhan dan pembangunan Indonesia ditentukan kemajuan pemerintah meningkatkan kualitas belanja publik. Pemerintah juga harus mampu mendorong perbaikan iklim bisnis.
Sementara Kepala Ekonom PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), Destry Damayanti, mengatakan penundaan kenaikan harga bahan bakar bersubsidi menahan penurunan daya beli masyarakat. Hal tersebut untuk jangka pendek cukup baik, namun akan membebani Anggaran Negara dalam jangka panjang. Bank Mandiri memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini hanya 6%-6,2%. Pada kuartal I 2012, realisasi pertumbuhan diprediksi 6,5%.
Terpisah Menteri Perekonomian, Hatta Rajasa mengatakan pemerintah akan berupaya mendorong laju pertumbuhan 6,5%. Revisi asumsi pertumbuhan ekonomi yang dilakukan Bank Dunia merupakan hal yang wajar. “Kita juga merevisi dari 6,7% menjadi 6,5%,” kata dia.
Selain pertumbuhan ekonomi, Bank Dunia memperkirakan laju inflasi Indonesia tahun ini sebesar 5%. Namun, angka itu didapat dengan asumsi pemerintah tidak menaikkan harga BBM subsidi. “Jika ada kenaikan, inflasi akan sebesar 5,7%,” kata Chaudhuri.
Ia mengatakan tahun lalu setidaknya anggaran Rp 172,9 triliun dialokasikan pemerintah untuk anggaran subsidi bahan bakar minyak. Padahal, 40% pengguna anggaran tersebut merupakan rumah tangga mampu.(sp)
Baca Juga Artikel Menarik Lainnya :


Tidak ada komentar:
Posting Komentar