TANAH di area pesisir Surabaya terus ambles. Berdasarkan data yang diterima DPRD Kota Surabaya penurunannya bervariasi, antara 3 milimeter sampai 14 centimeter. Atas kondisi ini dalam jangka waktu 10 tahun ke depan, ancaman gedung ambruk harus diwaspadai. Jika tidak dilakukan antisipasi sejak sekarang, maka akan banyak gedung yang mengalami keretakan. Selain itu, air tanah dipastikan semakin mahal, sebab penurunan permukaan tanah ini membuat air tanah berasa asin.“Berdasarkan hasil penelitian dua pakar ITS (Institut Teknologi Sepuluh Nopember) Surabaya, tanah di beberapa wilayah pesisir Surabaya ambles, khususnya di Surabaya Timur mengalami penurunan karena kultur bagian bawah tanah lembek. Sedangkan, yang di Surabaya Barat penuruannya tidak begitu dalam,” kata Sachiroel Alim Anwar, Ketua Komisi C DPRD Surabaya, Sabtu (21/7).
Penurunan tanah itu, lanjut Alim, disampaikan dua pakar geomatika ITS, DR Ir Ing Teguh Hariyanto, MSc dan DR Saiful Bahri kepada Panitia Khusus (Pansus) pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Surabaya terkait dengan kawasan strategis.
Kota Pahlawan yang luasnya 374,36 kilometer persegi menurut pakar tersebut, tambah Alim, setiap tahunnya mengalami penurunan tanah (subsidence) 3 mm-14 cm. Penurunan lahan terbesar berada di wilayah yang dominasi lahan industri dan perumahan padat.
Bahkan, kawasan Pantai Timur Surabaya (Pamurbaya) disebut paling rawan mengalami penurunan permukaan tanah. Kondisi ini dipicu beberapa hal, di antaranya banyak bangunan gedung baik bertingkat maupun tidak. Kemudian, adanya aktivitas pengeboran air bawah tanah baik yang dilakukan kalangan industri maupun perhotelan. “Aktivitas pengeboran air bawah tanah bisa membuat rongga dalam tanah. Rongga bawah tanah itu juga bisa membuat permukaan tanah ambles,” jelas Alim.
Aktivitas lain di atas permukaan tanah juga bisa berupa beban berat di atas tanah semacam kendaraan tronton bermuatan berat. ”Namun, para pakar itu menyarankan harus ada pengukuran ulang secara berkala dengan interval 1 tahun selama 1-10 tahun, dari pengukuran ulang itu kita bisa menetapkan nilai penurunan yang permanen,” ujarnya.
Menurutnya, data dan informasi terbaru tentang penurunan muka tanah, imbuh Alim, akan bermanfaat bagi aspek-aspek pembangunan. Seperti untuk perencanaan tata ruang di atas maupun di bawah permukaan tanah, perencanaan pembangunan sarana prasarana, pelestarian lingkungan, pengendalian dan pengambilan air tanah, pengendalian intrusi air laut, serta perlindungan masyarakat dari dampak penurunan tanah.
Sementara itu, pakar geologi Teguh Hariyanto membenarkan hasil penelitian tersebut. “Kami berharap ini dijadikan rujukan untuk penyusunan perda RTRW Surabaya,” sarannya.
Teguh menyebut efek penurunan tanah tak akan terasa antara 2-3 tahun, namun dalam jangka panjang sangat membahayakan. Terjadi penurunan tanah, rata-rata 5 sampai 8 milimeter per tahun di pesisir Surabaya. ”Itu berbahaya jika diakumulasikan selama 10 tahun. Bangunan akan banyak yang ambruk,” katanya mengingatkan.
Salah satu penyebab penurunan tanah itu karena air bawah tanah di Surabaya banyak disedot dan sudah dikuasai air laut, sehingga air tanah hanya tinggal 30 persen. ”Ini penggunaan air tanah berlebihan sehingga mengakibatkan air laut masuk,” tandasnya.
Lebih lanjut Teguh mengungkapkan, paling umum nantinya mudahnya intrusi air laut ke sejumlah wilayah yang mengalami penurunan tersebut. “Ketika warga mengebor sumur, air yang didapat bukan terasa tawar lagi, tapi asin,” ujarnya.
Nantinya, fenomena itu akan membuat air tanah menjadi mahal. Air maut bisa meresap ke dalam tanah dengan mudah, karena pori-pori tanah kian merenggang. “Perlahan dampak itu sudah terasa sekarang,” ujarnya.
Kepala Bidang Fisik Sarana dan Prasarana pada Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya, Gde Dwija Wardhana mengatakan, Pemkot Surabaya sudah melakukan antisipasi terkait ancaman penurunan lahan. Baik untuk pencegahan dan juga penanggulangannya.
Menurutnya, terkait masalah topografi dan geologi, Bappeko memang pernah mengundang pakar Geodesi dan Geofisika dari ITS terkait hasil penelitian yang mereka
lakukan. Penelitian tersebut, mereka mengambil sampel lahan di beberapa titik. Metodenya menggunakan penginderaan jauh dan micro tremor di lokasi yang paling banyak kerawanan ambles di daerah pesisir pantai seperti di kawasan timur Surabaya.
Atas kondisi itu kawasan, lanjutnya, Pamurbaya, dijadikan Pemkot sebagai kawasan konservasi atau lindung. Bappeko dengan dinas terkait dalam hal Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Surabaya, juga mengatur kegiatan konstruksi seperti pembangunan gedung, harus memperhatikan beberapa aspek seperti. Menurutnya, salah satu antisipasi Pemkot melalui Inzin Mendirikan Bangunan (IMB). (pur/sp)
Baca Juga Artikel Menarik Lainnya :


Tidak ada komentar:
Posting Komentar