Inilah salah satu BUMN yang membuat saya selalu waswas:
PT Pos Indonesia. Sebuah perusahaan yang praktis kehilangan seluruh basis
bisnisnya: pengiriman surat dan pengiriman uang.
Surat sudah digantikan e-mail atau handphone. Kartu
Lebaran sudah digantikan SMS. Pengiriman uang sudah tidak lagi dengan wesel.
Sudah digantikan dengan hanya satu klik di jasa perbankan atau satu sentuhan di
handphone.
Bisakah Pos Indonesia mentransformasikan dirinya dari
ancaman kematian? Berhasilkah direktur utamanya, I Ketut Mardjana, mengomandani
perubahan arah yang begitu drastis? Bisakah karyawan yang sudah telanjur
mencapai 25.000 orang itu memahami kenyataan baru? Ataukah kapal induk Pos
Indonesia itu harus kehilangan arah di lautan luas untuk kemudian tenggelam ke
dasarnya? Sungguh misi yang beratnya tak tepermanaikan.
Dan hasilnya adalah: Ketut Mardjana lulus dengan predikat
summa cum laude!
Mungkin saya berlebihan, tapi saya memang suka terharu
melihat orang yang berhasil keluar dari kesulitan. Apalagi dalam suasana
lingkungan birokrasi yang tidak bisa fleksibel seperti BUMN.
Di swasta sering terjadi perusahaan berhasil keluar dari
krisis dengan melakukan perubahan yang drastis. Perubahan itu bisa dilakukan
dengan lebih mudah karena fleksibilitas swasta yang hampir tak terbatas.
Sedangkan di BUMN kungkungan peraturannya sering
menakutkan. Sungguh tidak mudah melakukan transformasi besar di sebuah BUMN.
Kini masa-masa kritis transformasi itu sudah lewat. Badai
yang menerpa Pos Indonesia sudah berlalu. Gelombang laut sudah reda. Hujan pun
tinggal rintik-rintik. Sesekali saya masih menerima SMS dari lingkungan dalam
Pos Indonesia. Tapi, isinya sudah lebih memberikan harapan.
Tentu saya kagum dengan anak buah yang tabah, teguh, dan
ngotot seperti Ketut Mardjana itu. Saya melihat kian lama kian banyak Dirut
BUMN yang memiliki keteguhan, ketabahan, dan kengototan seperti itu. Praktis kini
saya hanya lebih banyak memuji secara terang-terangan daripada memaki di dalam
hati.
Kunci utamanya, saat mulai menakhodai kapal bocor Pos
Indonesia yang lagi oleng itu, Ketut tidak ikut mabuk. Dia tetap bisa berpikir
jernih bagian mana yang harus ditangani dulu. “Modernisasi sistem komunikasi,”
ujar Ketut yang aslinya orang dengan darah keuangan tersebut.
“Semua kantor pos serentak saya hubungkan dengan satelit.
Yang tidak bisa ditangani sistem telekomunikasi biasa saya pasangi visat,”
tambahnya.
Memang “awak kapal” Pos Indonesia sempat “berontak”.
Lulusan Sekolah Tinggi Ilmu Keuangan Jakarta yang meraih doktor ekonomi dari
Monash University Melbourne ini dianggap melakukan pemborosan besar-besaran.
Langkahnya dinilai bisa menguras keuangan perusahaan yang sudah mulai
mengering. Tapi, Ketut tidak mundur. Dia sudah telanjur basah.
Ketut sudah telanjur memutuskan pensiun dini dari
statusnya sebagai pegawai negeri dengan jabatan yang sudah sempat mencapai
setingkat direktur di Kemenkeu. “Saya harus berhasil,” katanya. “Bayangkan,”
kisah Ketut kepada saya, “dulunya untuk membayar gaji saja harus jualan aset,”
ungkapnya. “Orang mau menguangkan wesel tidak ada uangnya,” tambahnya.
Tentu saya bisa membayangkannya. Untung hal itu tidak
terjadi di zaman awal-awal saya menjadi wartawan. Ketika saya masih
menggantungkan hidup dari penghasilan saya menulis berita di koran-koran. Waktu
itu, setiap minggu, saya menerima wesel dari Jakarta. Kadang dari Tempo, kadang
dari Kompas. Atau dari media lain.
Setiap kali menerima wesel pos, saya langsung naik bemo
ke kantor pos di Kebon Rojo, Surabaya, untuk menguangkannya. Kadang
berboncengan dengan istri karena uangnya akan langsung dipakai membeli beras.
Waktu itu kantor pos masih jaya. Selalu ada uang untuk
membayar kiriman wesel untuk saya. Alhamdulillah, Pos Indonesia kembali jaya.
Tidak saja sudah menemukan jalan yang benar, tapi juga sudah menemukan jalan
tol yang lebar.
Yang membuat Ketut mendapatkan summa cum laude adalah
ini: berhasil mengidentifikasi kekuatan Pos Indonesia yang paling kuat. Apakah
itu? “Trust!” katanya. Kepercayaan. Saya menyetujuinya 100 persen.
Tidak saja menemukan, Ketut juga akan menggunakan
kekuatan utamanya itu untuk landasan bisnisnya di masa depan. Memang Pos
Indonesia juga memiliki kekuatan utama lainnya: network yang luas. Tapi,
network saja tidak cukup. Gabungan network dan trust itulah yang akan digunakan
Ketut untuk masa depan cerah Pos Indonesia.
Bagi saya kombinasi network dan trust tersebut sekaligus
merupakan sumbangan besar untuk Indonesia sebagai negara. Itu akan bisa
menutupi salah satu kelemahan republik ini di bidang ekonomi: tidak adanya
lembaga yang berfungsi sebagai clearing house. Akibatnya, bisnis e-commerce
tidak begitu berjalan di Indonesia.
Orang masih takut membeli barang melalui internet. Takut
nomor kartu kreditnya disalahgunakan orang lain. Takut penjualnya tidak
benar-benar mengirim barang yang dibelinya. Takut uangnya hilang begitu saja.
Ketut akan mengatasi tiga ketakutan tersebut sekaligus.
Pos Indonesia akan membangun mal secara besar-besaran: Plaza Pos Indonesia.
Lokasinya di langit internet.
Orang bisa membeli barang di Plaza Pos Indonesia.
Melakukan pembayaran secara online. Uangnya ditahan di Pos Indonesia sampai
penjualnya benar-benar kirim barangnya. Kalau barang tidak dikirim, pembeli
bisa mengambil kembali uangnya di kantor pos atau via rekening bank.
Sebaliknya, penjual juga merasa aman karena dijamin Pos
Indonesia. Inilah bisnis kepercayaan. Pembeli percaya ke kantor pos, penjual
percaya ke kantor pos. Ketut tidak akan mengambil jasa di transaksi
keuangannya. Pos Indonesia hanya mengharapkan dari jasa pengiriman barangnya.
Kalau program
Ketut ini berjalan, inilah momentum besar bagi pengusaha kecil yang serius.
Yang mampu membuat produk yang bermutu dengan harga bersaing. Tidak perlu sewa
mal dan tidak perlu takut tertipu pembayarannya!
Bangkitlah Plaza Pos Indonesia! Bangkitlah UKM kita! (*)
Dahlan Iskan, Menteri BUMN
Baca Juga Artikel Menarik Lainnya :



Tidak ada komentar:
Posting Komentar